
Kota Nanga Pinoh berasal dari nama sungai, karena letaknya persis di antara 2 sungai yaitu sungai Melawi dan sungai Pinoh. Tidak ada catatan resmi kapan persisnya kota Nanga Pinoh berdiri, tetapi catatan kecil berikut, terutama bagi etnis Tionghoa sedikitnya dapat menjadi panduan. Nanga Pinoh pada saat itu masih hutan / semak belukar / rawa-rawa tetapi sudah dihuni oleh penduduk setempat.
Orang Tionghoa pertama yang masuk dan menetap di Nanga Pinoh diduga adalah saudara Lai Bun Dji (Abun) tahun 1852. Berasal dari propinsi Kwang Dong, kabupaten Moi Jan, Tiongkok Selatan. Beliau menikah dengan seorang gadis pribumi dari desa Bongkal (pedalaman Kayan) dan melahirkan 5 orang anak, 2 anak laki-laki dan 3 anak perempuan. Saudara Lai Bun Dji meninggal dalam usia 87 tahun.
Kemiskinan dan kelaparan di Tiongkok pada jaman itu yang menjadi sebab utama imigrasi orang-orang Tionghoa ke seluruh Asia termasuk Indonesia.
Banyak ibu-ibu di negara Barat bahkan sampai hari ini masih sering menghardik anak-anaknya yang tidak mau makan dengan kata-kata “Makan habis nasimu. !! Kamu tahu tidak di negeri Tiongkok banyak sekali orang mati kelaparan”. Bukan hanya itu, di kalangan orang-orang Tionghoa saat ini pun bila berjumpa keluarga masih sering ditanya, sudah makan belum ??? Ini menunjukkan betapa hebatnya kemiskinan, kelaparan jaman itu.
Dahulu kota Nanga Pinoh terletak di Tekelak, pada tahun 1862 karena pantainya yang curam dan sulitnya bongkar muat sehingga secara berangsur mereka pindah ke seberang yaitu di Nanga Pinoh sekarang.
Pada jaman dahulu sebagian kota Nanga Pinoh yaitu sepanjang tepian sungai Melawi (sekarang jalan Garuda) adalah rawa-rawa.
Pada tahun 1891 berdiri badan urusan Pernikahan dan Kematian, ini dibuktikan dengan prasasti Wu Chi Than oleh perkumpulan Sip San Sa (tahun 34 dinasti Kwang Si). Oleh karena penduduk semakin bertambah, terutama marga Lai, maka dibukalah Sekolah Dasar Tionghoa yang pertama tahun 1902-1965.
Orang-orang Tionghoa membawa serta kepercayaan leluhurnya dengan menganut kepercayaan Kong Hu Cu dan membangun Klenteng pertama pada sekitar tahun 1885 di tepi sungai Melawi waktu itu, persisnya di ujung lapangan basket yang sekarang, kemudian dipindahkan oleh Belanda pada tahun 1927.
Pada tahun 1928 terjadi kebakaran hebat di sepanjang tepian sungai Melawi dan menghanguskan 40-an rumah. Karena hebatnya kebakaran, roda perekonomian terganggu sampai berbulan-bulan. Hal ini terjadi karena untuk datangkan sembako dari Pontianak dengan angkutan sungai yang waktu itu disebut kapal bandung, perlu waktu yang lama.
Selain sebagai tempat sembahyang, komunitas etnis Tionghoa waktu itu sering menjadikan Klenteng sebagai lokasi untuk menyelesaikan masalah-masalah kehidupan, konflik dan sengketa.
Sejak dahulu orang-orang Tionghoa jika membuka usaha, lahan bisnisnya pasti berada di pertemuan dua sungai, ini dimaksudkan agar dagangan dari kedua hulu sungai akan singgah dan menjual dagangannya. Sampai sekarang kita masih bisa melihat jejak petualangan mereka. Contohnya di kota Sintang yang diapit dua sungai yaitu sungai Melawi dan Kapuas, mereka berdagang dan tinggal di antara sungai tersebut. Di kota Sekadau juga berada di antara dua sungai yaitu sungai Kapuas dan sungai Sekadau, demikian juga kota Sanggau berada di antara dua pertemuan sungai, yaitu sungai Kapuas dan sungai Sekayam, dan demikian seterusnya.
Orang Tionghoa pada umumnya lebih merayakan Imlek sebagai hari besar, ketimbang hari-hari besar lainnya. Ada kebiasaan mereka menempelkan kertas merah pada pintu rumah, jendela-jendela, bangku, meja, lemari dapur, kue keranjang bahkan sampai di tungku.
Seiring masuknya kolonial Belanda di Nanga Pinoh dan berkembangnya kota Nanga Pinoh, mulailah dikerjakan jalan Sintang-Nanga Pinoh dan Nanga Pinoh-Kota Baru. Pengerjaan dengan pengerahan tenaga Rodi, sehingga jalan Nanga Pinoh-Kota Baru sering disebut jalan 40 hari (karena pekerja Rodi bekerja selama 40 hari per tahun).
Tahun 1931 kolonial Belanda membangun pasar pagi yang tahan api , tetapi pasar ini pun terbakar ludes tahun 2003.
Missionaris Kristen Protestan Pendeta Robert Mao masuk ke Nanga Pinoh pada tahun 1937, dan mengadakan penginjilan di tepi-tepi jalan Kota Nanga Pinoh. Missionaris Kristen Katholik Pastor Linsen (Chong Si Sin Fu) datang pada tahun 1947 dan berkedudukan awal di Serawai, dan Suster Helena (Thai Ku Nyong) dari negeri Belanda pertama kali membuka balai pengobatan di Nanga Pinoh.
Pesawat Cessna MAF (Mission Aviation Fellowship) pertama mendarat di lapangan perintis Nanga Pinoh tahun 1970. Seiring kemajuan Kalimantan Barat, khususnya Nanga Pinoh, bis antar kota sudah menembus kota Nanga Pinoh pada tahun 1983. Dan pada tahun 1986, pesawat DAS (Dirgantara Air Service) resmi menerbangkan rute Pontianak-Nanga Pinoh. Pada tahun 1996 pesawat DAS (PK-PIS) yang diterbangkan oleh pilot Agung Kuncoro jatuh di bukit Saran dan menewaskan 10 penumpangnya dan 1 penumpang selamat yaitu ibu Nur Intan.
Karena lancarnya arus angkutan darat maka sejak tahun 1990 angkutan sungai dengan kapal bandung mulai ditinggalkan.Di tahun 2003 Kota Nanga Pinoh diresmikan menjadi Kabupaten Melawi dengan Bupatinya Drs. Suman Kurik, MM.
Sampai sekarang kota Nanga Pinoh telah berkembang menjadi suatu wilayah perdagangan meliputi wilayah Kota Baru, Serawai, Ella dan lain-lain.
Artikel ini disusun oleh Bapak Mantri Asiak di Kota Nanga Pinoh dari berbagai sumber berdasarkan fakta yang ada.

Abdul Kadir Raden Tumenggung Setia Pahlawan lahir di Sintang, Kalimantan Barat pada tahun 1771 Masehi. Ayahnya bernama Oerip dan ibunya bernama Siti Safriyah. Ayah Abdul Kadir bekerja sebagai hulubalang atau pemimpin pasukan kerajaan Sintang. Abdul Kadir sudah mengabdi sebagai pegawai kerajaan Sintang pada saat usianya masih sangat muda. Selama mengabdi di kerajaan Sintang, ia mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Ia pernah mendapat tugas dari Raja Sintang untuk mengamankan kerajaan Sintang dari gangguan pengacau dan perampok. Tugas tersebut dapat dilaksanakannya dengan baik. Abdul Kadir kemudian diangkat menjadi pembantu ayahnya yang menjabat sebagai Kepala Pemerintahan kawasan Melawi. Setelah ayahnya wafat, pada tahun 1845, ia diangkat sebagai kepala pemerintahan Melawi menggantikan kedudukan ayahnya. Karena jabatannya itu Abdul Kadir mendapatkan gelar Raden Tumenggung yang diberikan oleh Raja Sintang.
BalasHapusDalam perjuangannya, ia berhasil mempersatukan suku-suku Dayak dengan Melayu serta dapat mengembangkan potensi ekonomi daerah Melawi. Namun demikian, ia juga berjuang keras menghadapi ambisi Belanda-datang di Sintang pada tahun 1820-yang ingin memperluas wilayah kekuasaannya ke daerah Melawi. Dalam menghadapi Belanda, ia memakai strategi peran ganda, yaitu sebagai pejabat pemerintah Melawi ia tetap bersikap setia pada Raja Sintang yang berarti setia pula pada pemerintahan Belanda. Tetapi secara diam-diam ia juga menghimpun kekuatan rakyat untuk melawan Belanda. Ia membentuk kesatuan-kesatuan bersenjata di daerah Melawi dan sekitarnya untuk menghadapi pasukan Belanda.
Pada tahun 1866, Belanda memberikan hadiah uang dan gelar Setia Pahlawan kepada Abdul Kadir Raden Tumenggung agar sikapnya melunak dan mau bekerjasama dengan Belanda. Namun demikian Abdul Kadir tidak merubah sikap dan pendiriannya. Ia tetap melakukan persiapan untuk melawan pemerintahan Belanda. Pada akhirnya di daerah Melawi sering terjadi gangguan keamanan terhadap Belanda yang dilakukan oleh pengikut Abdul Kadir Raden Tumenggung.
Pada tahun 1868, Belanda yang marah akibat sering mendapat gangguan keamanan kemudian melancarkan operasi militer ke daerah Melawi. Pertempuranpun tidak bisa dihindari antara pasukan Belanda melawan pengikut Abdul Kadir Raden Tumenggung. Dalam menghadapi Belanda, Abdul Kadir tidak memimpin pertempuran secara langsung, melainkan ia hanya mengatur strategi perlawanan. Sebagai kepala pemerintahan Melawi, ia bisa memperoleh berbagai informasi tentang rencana-rencana operasi militer pemerintah Belanda. Berkat informasi itulah, para pemimpin perlawanan dapat mengacaukan operasi militer Belanda.
Selama tujuh tahun (1868-1875) Abdul Kadir Raden Tumenggung berhasil menerapkan strategi peran ganda, namun akhirnya pemerintah Belanda mengetahuinya. Pada tahun 1875 ia ditangkap dan dipenjarakan di benteng Saka Dua milik Belanda di Nanga Pinoh. Tiga minggu kemudian ia meninggal dunia dalam usia 104 tahun. Jenasahnya dimakamkan di Natali Mangguk Liang daerah Melawi.
Abdul Kadir Raden Tumenggung Setia Pahlawan adalah seorang tokoh pemberani. Tokoh pejuang yang mampu menghimpun serta menggerakkan rakyat untuk melawan Belanda. Pemikirannya untuk melawan penjajah Belanda menjadi contoh bagi perlawanan rakyat selanjutnya. Atas jasa-jasanya dalam perjuangan menghadapi penjajah Belanda, maka pada tahun 1999 berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 114/TK/Tahun 1999 tertanggal 13 Oktober 1999, pemerintah Indonesia menganugerahkan Abdul Kadir Raden Tumenggung Setia Pahlawan sebagai Pahlawan Nasional.
Senang sekali membacanya
BalasHapusterima kasih infonya..izinkan share, salam kenal
BalasHapuskunjungi blog ku http://ransadarant.blogspot.com/
izin repost ya kak
BalasHapus